Feeds RSS
Feeds RSS

Senin, 28 Februari 2011

Lebih Baik Pacaran atau Tidak Pacaran ?

Stres sudah menjadi bagian dari kehidupan kita masing-masing. Setiap manusia tidak ada yang sempurna dan tidak dapat luput dari kekurangan atau kesulitan hidup. Berbagai persoalan dalam hidup dapat membuat seseorang mengalami apa yang disebut dengan stres. Untuk itu, mari kita kenali dahulu arti kata stres tersebut.

Menurut dr. Hans Selye, orang yang menemukan stres, beliau mendefinisikan stres sebagai reaksi tubuh yang tidak menentu terhadap apa yang dituntut dari tubuh itu (Sehnert, 1997). Ketika kita mengalami stres, tubuh atau jiwa kita dapat berespon akibat tekanan dari sumber stres yang kita alami. Sumber stres tersebut dapat berasal dari lingkungan, pekerjaan, orang lain, dan sebagainya. Berbagai perubahan akibat reaksi stres tersebut dapat terjadi pada fisik, emosi, pikiran, dan tingkah laku kita. Sekarang, tinggal bagaimana cara kita mengenali, mengatur dan mengatasi stres yang akan kita temui dalam kehidupan sehari-hari.
 
Sebagai seorang remaja yang masih rentan terhadap berbagai persoalan hidup, seringkali ketika menghadapi suatu masalah, hal tersebut menjadi sebuah tekanan. Mengapa begitu? G. Stanley Hall mengemukakan bahwa remaja adalah masa pergolakan yang diisi dengan konflik dan mood yang mudah berganti-ganti (Santrock, 2006). Remaja adalah masa peralihan dimana mereka masih berusaha mencoba-coba peran baru untuk menemukan jati diri mereka. Seperti halnya juga dengan menjalin hubungan atau pacaran. Hubungan romantik pada remaja bertujuan untuk meng-explore seberapa menarik dirinya, bagaimana mereka harus secara romantis berinteraksi dengan seseorang, dan bagaimana semuanya itu terlihat pada peer groupnya (Brown,1999). Dari penjelasan tersebut, pacaran dilihat sebagai suatu cara untuk mencari tau hal-hal yang berkaitan dengan dirinya. Masalahnya adalah : bagaimana jika hubungan itu gagal? Sebagai seorang remaja yang memiliki emosi naik turun atau labil, apa dampak yang akan terjadi dan apa yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasi kegagalan tersebut?

Cinta selalu dapat membangkitkan semangat kita dan seringkali membuat kita pusing. Kesenangan yang dialami oleh remaja saat masa berpacaran, dapat berubah ketika mereka sudah dewasa. Ketika dewasa, seseorang sudah tidak melihat lagi hal-hal yang tampak seperti penampilan fisik pasangannya. Mereka lebih memikirkan hal-hal yang penting untuk masa depan kedua belah pihak serta menyelesaikan masalah secara dewasa. Berbeda dengan orang dewasa, hal yang masih menonjol pada remaja adalah perasaannya. Jarang sekali remaja yang pertama kali berpacaran dimotivasi untuk memikirkan masa depan.

Emosi seseorang dimainkan saat menjalani kedekatan dengan seseorang. Disinilah seorang remaja perlu berhati-hati. Seringkali susah untuk menyeimbangkan antara emosi dan logika. Di awal remaja menjalani hubungan romantik, remaja sering hanya mencari kenyamanan dan pergi keluar bersama-sama dengan kelompok dari jenis kelamin yang berbeda (Santrock, 2006). Remaja seringkali hanya butuh dicintai dan mencintai pasangannya, tetapi disatu sisi sebenarnya ada hal yang lebih penting dari pacaran dan juga membutuhkan pikiran yang dewasa yaitu menerima pasangan apa adanya dan memikirkan apakah orang yang kita pilih memiliki prinsip-prinsip hidup yang sesuai dengan kita atau tidak. Itulah yang dinamakan dengan cinta yang sudah dewasa.

Seorang remaja yang baru pertama kali menjalin hubungan atau pacaran, ia akan berusaha untuk tampil sebegitu rupanya sehingga dapat menyenangkan pasangannya. Ia menampilkan sisi baiknya, penampilan terbaiknya, sifat yang baik dan segala sesuatu dari dirinya yang baik. Mau tidak mau perasaan dan emosi bermain disini dan hal tersebut menumbuhkan keterikatan yang lebih mendalam lagi antara keduanya. Disinilah dapat terjadi masalah. Ketika remaja diperhadapkan kepada situasi lain seperti pasangannya dekat dengan orang lain, sifat pasangan yang tadinya baik jadi cuek, dan sebagainya, hal ini dapat membuat orang yang memgalami itu kecewa. Jika sudah kecewa, emosi yang tadinya baik-baik saja dan perasaan yang sedang berbunga-bunga dapat berubah seketika. Ia dapat merasa tidak dihargai, tidak diinginkan lagi, dan dapat berujung kepada hal-hal yang tidak diinginkan seperti stres lalu bunuh diri. Jika kita mencoba terlalu keras untuk menjadi seorang pasangan yang sempurna, kita akan membentuk kecenderungan dasar dan membentuk ketegangan (Girdano, 2005).

Emosi dalam hubungan percintaan bagimanapun juga mudah diserang, khususnya pada remaja. Pikiran dan perasaan seseorang yang belum dewasa ketika pacaran menjadi tidak stabil dan seringkali menimbulkan stres ketika diperhadapkan dengan masalah-masalah yang ada. Stres dalam hubungan seseorang datang sebagai hasil dari kombinasi kegagalan karena harapan tidak tercapai dan kegagalan untuk mendapatkan apa yang kita mau (Girdano, 2005). Jika remaja gagal dalam menjalin hubungan, tidak jarang mereka frustasi dan marah karena tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan. Mereka tidak mengerti mengapa itu bisa terjadi karena masih diliputi perasaan sedih dan ketidakdewasaan dalam berpikir. Perasaan sedih tersebut dapat berkelanjutan dan membuat seseorang menjadi frustasi bahkan depresi. Seseorang dapat merasa sedih, murung, patah hati, kehilangan minat dan kegembiraan, ganguan tidur termasuk sulit tidur, terbangun di malam hari, ganguan nafsu makan, merasa tak berguna, merasa bersalah, sukar berkonsentrasi, sukar mengambil keputusan, pandangan masa depan suram, dan pesimistis. Hal-hal tersebut mungkin terjadi pada remaja dimana sebagian besar remaja masih dalam kondisi yang tidak stabil.

Ketika remaja menghadapi situasi baru, dimana ia baru pertama kali gagal dalam menjalin sebuah hubungan, mereka cenderung akan merasa berat untuk menjalaninya. Persepsi kita terhadap sebuah hubungan membentuk model tersendiri yang dapat berdampak pada stres, kesehatan dan kebahagiaan kita (Girdano, 2005). Persepsi seseorang dengan orang lain dapat jadi berbeda-beda dan hal itu juga akan menimbulkan kadar stres yang berbeda pula antara satu orang dengan yang lainnya. Ketika remaja melihat kegagalan sebagai suatu hal yang buruk, maka yang akan terjadi adalah ia menanamkan pikiran bahwa ia tidak berguna lagi, pesimis, tidak ingin hidup lagi, dan sebagainya. Jadi tidak heran ketika kita membaca judul-judul koran yang mengatakan bahwa remaja bunuh diri karena diputusin pacar, remaja lompat dari atas gedung karena diputusin pacar, dan sebagainya. Sebaliknya, jika remaja melihat kegagalan sebagai awal dari keberhasilan, ia tidak akan merasa putus asa karena kegagalan tersebut, justru ia akan menjadi lebih baik karena pengalaman-pengalaman yang sudah ia lewati dan menggunakan kegagalan tersebut sebagai pelajaran dikemudian hari. Lihatlah perbedaan tersebut.

Perubahan dari situasi yang lama kepada situasi yang baru memang seringkali membawa dampak tersendiri bagi setiap orang yang menjalaninya. Seperti yang dikatakan Girdano diatas, stres juga berdampak pada kesehatan. Ketika remaja stres karena kegagalan dalam menjalin hubungan, mereka cenderung putus asa dan sedih. Hal ini dapat mempengaruhi pola makannya. Biasanya, orang yang sedang sedih kehilangan nafsu makan. Tentu saja ini tidak baik bagi kesehatannya. Jika itu berlangsung lama dapat membuat seseorang tidak dapat berpikir jernih, berlarut-larut dalam kesedihan tersebut bahkan terkena penyakit. Ia tidak dapat berpikir logis dan menjadi cepat emosi. Orang yang mengalami stres tidak mungkin mengalami kesejahteraan pikiran sebab pikirannya bercabang antara minat-minat yang layak dan pikiran-pikiran yang merusak (Gintings, 1999). Oleh karena itu, selama pikiran yang merusak itu masih berada dalam pikiran kita dan kita berlarut-larut dengan hal tersebut, seseorang tidak dapat berpikir jernih untuk melihat sesuatu dari segi positifnya. Ketika remaja mengalami hal ini, ia tidak dapat berkonsentrasi belajar, mengurung diri di kamar, tidak mau melakukan apa-apa, menangis, melamun, dan murung.

Cinta tidak berasal dari otak kiri seseorang yang dapat memproduksi hal-hal yang bersifat logikal atau analitikal, tetapi ia berasal dari otak kanan dimana perasaan lebih menonjol daripada berpikir (Girdano,2005). Bayangkan jika remaja terlalu memiliki perasaan yang mendalam kepada pasangannya dan kehilangan kemampuan untuk berpikir logis ketika ia diperhadapkan dengan situasi yang berbeda. Apa reaksi yang akan dikeluarkan? Mungkin akan berujung kepada stres karena ia tidak mendapatkan apa yang ia mau dan harapannya selama ini tidak tercapai. Perasaan yang menonjol akan membuat remaja merasakan sakit hati dan kecemburuan yang tinggi bila harapannya tidak tercapai. Sumber stres yang paling jelas adalah pertengkara dan hal itu mempnyai kapasitas untuk menghancurkan hubungan dan menimbulkan tekanan emosi seperti takut, marah dan sakit hati (Girdano, 2005). Jika seseorang sudah sampai pada titik pertengkaran, ia dapat berada dalam situasi yang membuat ia tertekan jika tidak dihadapi dengan benar. Jika itu terjadi pada remaja, mereka akan merasakan tekanan emosi yang begitu hebat karena pada saat itu remaja sedang berada dalam emosi yang labil. Bagaimanapun juga, remaja perlu berhati-hati dalam menentukan dan memutuskan segala sesuatu.

Setelah mengetahui apa itu stres, sumber stres dan reaksi-reaksi stress, lalu pertanyaan berikutnya yang muncul adalah : bagaimana cara kita untuk menghadapi dan mengatasi masalah tersebut sebagai seorang remaja? Perubahan situasi dari situasi yang menyenangkan ke situasi yang tidak menyenangkan bagaimanapun juga memang susah untuk dihadapi. Tetapi ada banyak pilihan dalam kehidupan ini. Apakah kita mau terus terpuruk atau bangkit dari keterpurukan itu? Jawabannya ada pada diri masing-masing individu. Mari kita belajar untuk mengenali dahulu reaksi-reaksi stress dan sumber stres yang kita hadapi. Setelah itu hal selanjutnya yang harus dilakukan adalah mengatasi atau menanggulangi stres dengan berbagai cara yang ada dan yang terakhir adalah menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

Berikut ini kita akan melihat hal-hal apa saja yang dapat dilakukan oleh remaja untuk mengurangi stres ketika mengalami kegagalan. Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengubah cara pandang kita terhadap sesuatu. Satu-satunya masalah yang harus kita hadapi ialah memilih pikiran yang tepat (Soekrama,2001). Pikiran kitalah yang menentukan akan menjadi seperti apa kita. Jika kita berpikir kegagalan dari sudut pandang yang buruk, kita akan berpikir bahwa kegagalan merupakan akhir dari segalanya. Hal selanjutnya yang akan terjadi adalah kita merasakan kesedihan yang luar biasa, sakit hati yang tidak bisa kita terima, lalu kita akan marah, kecewa, nangis dan sebagainya. Pikiran kita membentuk kita menjadi seseorang yang pesimis dan tidak berdaya. Sebaliknya, jika kita memandang kegagalan sebagai sesuatu yang positif, kita akan menenukan diri kita yang bersemangat untuk menatap masa depan. Kegagalan akan dilihat sebagai suatu pelajaran bila kita berpikir positif. Ketika menghadapi situasi yang sama di lain waktu, kita akan manjadi lebih dewasa dalam menyikapi masalah yang ada.

Orang tidak akan menderita karena apa yang terjadi, tapi menderita karena pendapatnya sendiri tentang apa yang terjadi (Soekrama, 2001). Hal yang bisa kita lakukan mulai saat ini adalah mengatakan pada diri sendiri apa yang mau kita lakukan dan meyakininya. Sebagai contoh, kita dapat mengatakan, “Hari ini saya mau memperkuat pikiran saya. Saya akan mempelajari sesuatu yang berguna. Saya tidak akan jadi orang yang lemah. Saya akan belajar memaafkan”. Pikiran dan keyakinan tersebut akan membawa kita kepada hari-hari yang menyenagkan buat kita. Kita harus berpikir dan bertindak dengan sukacita, karena dengan begitu kita akan merasa gembira. Bayangkan jika kita melihat suatu kegagalan sebagai suatu yang buruk. Pikiran kita akan dipenuhi dengan masalah-masalah, emosi yang tinggi dan tekanan. Hal tersebut tentu saja akan menggangu kehidupan sehari-hari yang kita jalani. Hari-hari kita akan berjalan berat dan kita akan merasa letih untuk menjalani hari-hari ke dapan.

Hal lain yang dapat kita lakukan untuk menghadapi stres karena kegagalan adalah menerima kenyataan. Bersedialah menerima apa adanya, sebab menerima apa yang terjadi adalah langkah pertama untuk mengatasi segala akibat kemalangan yang menimpa (Soekrama, 2001). Menerima kenyataan mungkin tidak semudah membalikkan telapak tangan, tetapi bagaimanapun juga kita harus mencoba dan berlatih untuk menerima kenyataan. Mungkin dalam kasus ini, waktu sangatlah dibutuhkan. Tidak gampang bagi seseorang untuk melupakan kenangan-kenangan yang sudah dilalui bersama pasangannya. Tetapi bagaimanapun juga, kita tidak boleh berlarut-larut karena hal tersebut. Itu hanya akan membawa kita terjun lebih dalam lagi kepada pikiran-pikiran yang tidak berguna dan membuat kita lemah. Seiring berjalannya waktu, kita pasti dapat menghadapi kenyataan. Jika kita mengabaikan dan menolak kenyataan sehingga kita sendiri jadi senewen, ini tidak akan mengubah kenyataan tersebut (Soekrama, 2001). Ketika kita menghadapai suatu kegagalan dalam menjalin hubungan dan kita menjadi marah, hal tersebut tetap tidak akan mengubah kenyataan tersebut. Pilihannya kembali ke diri masing-masing kita. Apakah kita akan menerima kenyataan dan berpikir bahwa masih ada jalan yang lebih baik di depan sana ataukah kita memilih untuk membebani pikiran kita dengan kegagalan tersebut dan berlarut-larut dalam kesedihan.

Dalam menerima kenyataan, hal yang perlu diperhatikan juga adalah bahwa kita tidak boleh mengasihani diri kita sendiri. Seringkali pada remaja yang mengalami kegagalan, mereka terlalu mengasihani diri sendiri karena tidak mendapatkan apa yang diinginkannya sehingga berujung pada depresi bahkan ada yang bunuh diri. Hal tersebut justru akan lebih menambah beban pada diri sendiri. Berpikir bahwa kita gagal, bahwa kita tidak sanggup menjalani hari-hari ini tanpa kehadirannya lalu menyesalinya, menangis dan berkata bahwa kita tidak sanggup menjalani kehidupan ini, itulah salah satu bentuk mengasihani diri sendiri. Kita tidak boleh terpengaruh oleh keinginan untuk mengasihani diri sendiri dan ketakutan, tetapi terus saja belajar (Soekrama, 2001).

Hal berikut yang dapat kita lakukan adalah menarik pelajaran dari kegagalan yang telah kita perbuat. Cobalah untuk menganalisa hal-hal apa yang membuat kegagalan itu terjadi dan coba pikirkan apa baik buruknya dari kegagalan tersebut. Dari kebiasaan tersebut, kita dapat melatih diri kita untuk selalu melihat bahwa dibalik semua hal yang terjadi, pasti ada pelajaran yang dapat diambil dan yakinilah itu. Orang bijaksana tidak pernah meratapi kegagalannya tapi dengan gembira hati mencari jalan bagaimana bisa memulihkan kembali kerugian yang dideritanya (Soekrama, 2001). Kita pun juga dapat belajar menjadi orang bijaksana tersebut. Jangan merisaukan hal-hal yang telah terjadi. Hal itu hanya akan menghalangi kita untuk terus maju ke depan.

Salah satu cara lain yang dapat dilakukan remaja untuk mengatasi rasa stres adalah dengan menyibukkan diri. Kesedihan hati dapat disembuhkan dengan jalan menyibukkan diri (Soekrama, 2001). Walaupun tidak sepenuhnya kita dapat melupakan masalah dengan kesibukan yang kita lakukan, tetapi ini adalah salah satu cara agar kita tidak termakan oleh situasi dan perasaan yang membebani pikiran kita. Kebanyakan orang akan menjadi sedih apabila sedang berada di waktu santai. Kita cenderung memikirkan apakah kita bahagia atau tidak. Sebagai seorang remaja, banyak sekali kegiatan yang dapat dilakukan untuk menyibukkan diri. Tentu saja harus menyibukkan diri dengan hal-hal yang positif. Kita bisa memilih untuk aktif dalam organisasi, menyalurkan minat kita seperti bermain musik, olahraga, menari, melukis, membaca, dan sebagainya. Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk menyibukkan diri. Jika hal itu kita lakukan, kita dapat mengurangi stres yang kita hadapi.

Hal terakhir yang dapat kita lakukan adalah berdoa sesuai dengan agama masing-masing. Pentingnya doa secara psikologis adalah agar kita mendapat ketenangan dan dapat melewati suatu kelepasan dari ketegangan dan pergumulan (Gintings, 1999). Dengan menjaga tingkat spiritualitas kita, kita dapat mencari ketenangan ditengah-tengah keributan, keramaian, serta kesibukan yang ada didunia ini. Ketika berhubungan dengan Sang Pencipta, kita dapat menyerahkan segala kekhawatiran dan masalah-masalah kita. Kita akan senantiasa mendapat kekuatan untuk menghadapi segala hal yang terjadi dalam kehidupan kita. Tidak ada alasan bagi kita untuk tetap stres jika kita sudah berhadapan dengan Sang Pencipta.

Sebagai seorang remaja, kegagalan harus dilihat sebagai suatu pelajaran. Ketika sudah dewasa, pengalaman-pengalaman yang telah dialalui dapat menjadi pengalaman berharga. Kita semakin dibentuk utnuk menjadi dewasa dengan adanya kegagalan-kegagalan tersebut. Jadi kita tidak perlu takut, cemas ataupun khawatir akan kegagalan yang dihadapi. Ada banyak cara untuk mengatasi stres akibat kegagalan dalam menjalin hubungan dengan seseorang. Sekarang tinggal bagaimana sebagai seorang remaja, kita memilih cara yang sesuai dan tepat untuk mengatasi stres.

0 komentar:

Posting Komentar